aku sanggup menulis larik-larik puisi paling perih malam ini.
menulis, misalnya, malam runtuh dan bintang biru gemetar di jauh sana. udara malam berpusar dan bernyanyi di angkasa.
aku sanggup menulis larik-larik puisi paling perih malam ini.
aku mencintai dia, dan sesekali dia mencintai aku pula.
dalam malam-malam seperti ini, mestinya kurengkuh dia di lenganku. mengecupnya, berulangkali, berulangkala, di bawah langit tanpa tepi.
sesekali dia mencintai aku, dan aku mencintai dia pula. bagaimana mungkin aku mampu tak mencintai matanya yang dalam dan tenang
aku sanggup menulis larik-larik puisi paling perih malam ini. di kepala dia tak lagi aku capai, di dada dia tak lagi aku gapai.
malam yang begitu mencekam, bertambah kejam sebab dia tiada.
dan puisi menetas di dada seperti airmata-embun menetes di rumputan.
tak mengapa kalau cinta tak bisa di sini menahan dan menjaganya.
malam runtuh dan dia tak bersama aku.
begitulah. di jauh sana seseorang lirih menyanyi, di jauh sana. duh, kini seluruh jiwaku luruh dan malam runtuh tanpa dia.
sebab ingin dia ada di sini. tetapi tetap tatapku tak sanggup
menangkap dia. hatiku mencari, tetapi tetap dia tiada di sini..........
----------------------------------------------------------------------------------
Selalu ingin menulis tentangmu, tetapi sangat sulit. Jika menyangkut dirimu, semuanya tiba2 menjadi bisu dan kelu. Akhir2 ini, rasa tidak percaya diri itu muncul kembali. Apa mungkin? Sedangkan engkau tidak pernah memberi jawab yang jelas. Engkau mungkin melupakan satu hal, terkadang wanita membutuhkan bahasa verbal. Seorang teman pernah mengatakan, alangkah tidak adilnya jika cinta dibatasi oleh usia. Tapi kenyataannya memang demikian, bukan? Cinta selalu dibatasi jarak, perasaan, usia dan hal remeh temeh lainnya. Jadi apalagi yang kau harap? dan apalagi yang mesti aku tunggu?
-----------------------------------------------------------------------------------
Potongan sajak : Pablo Neruda, dikutip dari blog aan mansyur (aanmansyur.blogspot.com)
Thursday, September 30, 2010
sepi
Akhirnya. Hanya ada saya dan sepi yang memeluk. Selalu begitu, disaat sedang galau, saya selalu ingin sendiri. Menikmati sepi, menikmati tangis tertahan.
Entahlah, apa memang galau ini layak untuk ditangisi. Saya hanya ingin mengeluarkan sesak yang membatu. Itu saja.
Entahlah, apa memang galau ini layak untuk ditangisi. Saya hanya ingin mengeluarkan sesak yang membatu. Itu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)